Peningkatan Kualitas Bahan Tanam
Padi yang berjejer rapi di sawah-sawah pedesaan bukan merupakan sesuatu yang kebetulan terjadi, tetapi merupakan hasil dari kerja keras nenek moyang kita selama beberapa abad. Selama beradab-abad manusia telah membudidayakannya dengan menyilangkan dan menyeleksinya dari tanaman galur liar hingga diperoleh galur padi seperti yang ada saat ini. Dalam pekerjaan penyilangan dan penyeleksian tersebut sesungguhnya manusia telah melakukan transaksi gen (pertukaran bahan genetik) dari berbagai macam kerabat liar menjadi tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan, seperti produksinya tinggi, masa panen singkat, berasnya pulen, tahan wereng, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi pada produk-produk pertanian, peternakan, dan perikanan yang merupakan hasil transaksi gen selama berabad-abad.
Transaksi gen dengan cara konvensional membutuhkan waktu yang relatif lama dengan hasil yang sulit diprediksikan. Bioteknologi menawarkan cara alternatif baru dalam transaksi gen dalam waktu yang relatif singkat dengan hasil yang lebih dapat diprediksikan. Metode konvensional transaksi gen dilakukan pada taraf organisme, sedangkan bioteknologi melakukan transaksi gen pada taraf sel atau molekuler. Bahkan bioteknologi mampu menembus batasan taksonomi yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan dengan cara konvensional.
Peningkatan kualitas bahan tanam melalui bioteknologi berdasarkan pada empat kategori peningkatan: peningkatan kualitas pangan, resistensi terhadap hama atau penyakit, toleransi terhadap stress lingkungan, dan manajemen budidaya (Huttner, 2003). Kelompok peneliti yang diketuai oleh Dr. Ingo Potrykus telah berhasil memasukkan dan mengekspresikan dua gen penting dalam pembentukan provitamin A di dalam endosperma padi (Ye et. al., 2000). Padi yang dihasilkan berwarna kuning karena mengandung ß-Karoten dan dikenal dengan ” Golden Rice ”. Rekayasa genetika ini dapat membantu mengurangi gangguan kebutaan dan gangguan kesehatan lain yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A yang banyak terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Penggunaan pestisida oleh petani di pedesaan sudah sangat berlebihan. Residu pestisida yang tertinggal tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, tetapi juga berbahaya bagi manusia yang memakannya. Perakitan tanaman yang resisten terhadap hama tertentu dapat mengurangi secara signifikan penggunaan pestisida dan biaya perawatan (Carpenter dan Gianessi, 2001). Contoh tanaman transgenik yang resisten terhadap hama adalah jagung Bt dan kapas Bt, yaitu tanaman yang telah memiliki gen Cry IA yang mematikan jenis hama tertentu.
Perakitan tanaman untuk mengatasi stres lingkungan saat ini telah banyak dilakukan. Sebagai contoh, untuk mengatasi cekaman Al di tanah-tanah masam saat ini tengah dirakit kedelai yang tahan cekaman Al oleh sekelompok peneliti yang diketuai Dr. M.Yusuf dari IPB. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) melakukan penelitian untuk merakit tanaman tebu yang tahan terhadap cekaman kekeringan.
Biofertilizer dan Biodecomposer
Daya dukung sebagian lahan pertanian, terutama di lahan-lahan marginal tergolong rendah sebagai akibat dari rendahnya bahan organik tanah. Bahan organik tanah sebagai sumber energi sangat penting artinya bagi aktivitas mikroba tanah. Sebagian dari mikroba tanah tersebut sangat berperan dalam mekanisme efisiensi pelarutan unsur hara di dalam tanah, baik hara yang berasal dari tanah maupun yang dari pupuk. Oleh karena kadar bahan organik yang rendah, maka aktivitas mikroba tersebut juga rendah. Akibatnya, pupuk kimia yang diberikan ke tanah untuk tanaman, sebagian besar terbuang oleh proses pencucian, penguapan, dan fiksasai. Oleh karena itu, apabila aktivitas mikroba tanah dan/atau bahan organik tanah ditingkatkan, maka efisiensi penyediaan unsur hara dapat ditingkatkan.
Pemanfaatan mikroba tanah untuk pertanian telah dimulai sejak abad ke 19, yaitu pemanfaatan mikroba penambat nitrogen untuk meningkatkan kandungan hara N di dalam tanah. Mikroba tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai biofertilizer adalah mikroba pelarut hara, penambat hara, pengikat hara, dan/atau pemantap agregat. Pada dasarnya biofertilizer bukan pupuk dalam pengertian konvensional, seperti urea, SP36, atau MOP, sehingga aplikasinya tidak dapat menggantikan seluruh hara yang dibutuhkan tanaman (Goenadi et. al., 1998). Aplikasi biofertilizer ke dalam tanah, dapat meningkatkan aktivitas mikroba di dalam tanah, sehingga ketersediaan hara berlangsung optimum dan dosis pupuk konvensional dapat dikurangi tanmpa menimbulkan penurunan produksi tanaman dan tanah. Salah satu produk biofertilizer bernama Emas ( Enhancing Microbial Activity in the Soils ) telah dirakit oleh BPBPI (Paten ID 0 000 206 S), dilisensi oleh PT Bio Industri Nusantara dan digunakan di berbagai perusahaan perkebunan (BUMN dan BUMS) (Goenadi, 1999).
Kandungan bahan organik tanah dapat ditingkatkan dengan menambahkan bahan organik limbah pertanian yang telah terdekomposisi (kompos) ke dalam tanah. Proses dekomposisi memerlukan secara alami waktu yang lama (3-6 bulan). Proses dekomposisi dapat dipercepat melalui pengecilan bahan baku dan pemberian aktvator dekomposisi ( Biodecomposer ) (Goenadi, 1997). Pemanfaatan biodecomposer dapat mempercepat proses pengomposan menjadi 2-3 minggu. Selain itu, sebagian mikroba bahan aktif biodecomposer yang masih tertinggal di dalam kompos juga berperan sebagai musuh alami penyakit jamur akar atau busuk pangkal batang.
Biokontrol dan Bioremediasi
Mikroba juga telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Aplikasi mikroba untuk biokontrol hama dan penyakit tanaman meliputi mikroba liar yang telah diseleksi maupun mikroba yang telah mengalami rekayasa genetika. Contoh mikroba yang telah banyak dimanfaatkan untuk biokontrol adalah Bauveria bassiana untuk mengendalikan serangga, Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan hama boktor tebu ( Dorysthenes sp) dan boktor sengon ( Xyxtrocera festiva ), dan Trichoderma harzianum untuk mengendalikan penyakit tular tanah ( Gonoderma sp, Jamur Akar Putih, dan Phytopthora sp). Biokontrol tidak selalu menggunakan mikroba sebagai bahan aktinya, Puslit Kopi dan Kakao di Jember saat ini tengah mengembangkan semut hitam untuk mengendalikan hama Penggerek Buah Kakao (PBK). Keuntungan pemanfaatan biokontrol untuk pertanian antara lain adalah ramah lingkungan, dan mengurangi konsumsi pestisida yang tidak ramah lingkungan.
Salah satu penyebab menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia adalah bayaknya residu bahan kimia sintetik, seperti herbisida. Menurut data dari FAO (1998) penggunaan herbidisa di Indonesia pada tahun 1996 sebesar 26.570 ton. Jumlah ini meningkat sebesar 395% jika dibandingkan pengunaa herbisida pada tahun 1991 (6.739 ton). Upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang terkena polusi herbisida tersebut telah dilakukan. Salah satu teknologi alternatif untuk tujuan tersebut adalah melalui bioremediasi . Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik polutann secara biologi dalam kondisi terkendali. Penguraian senyawa kontaminan ini umumny melibatkan mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri). Pendekatan umum yang dilakukan untuk meningkatkan biodegradasi adalah dengan cara: (i) menggunakan mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik), (ii) memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi dan aerasi (biostimulasi), (iii) penambahan mikroorganisme (bioaugmentasi) (Sulia, 2003).
No comments:
Post a Comment